Dari PSN ke Swasembada Nasional: Ambisi Lama Pemerintah Hidup Kembali di Tanah Papua Selatan

Dari PSN ke Swasembada Nasional: Ambisi Lama Pemerintah Hidup Kembali di Tanah Papua Selatan

Proyek Strategis Nasional Dicabut, Papua Selatan Tetap Jadi Target Program Swasembada Baru-Istimewa.-

MERAUKE Pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto resmi menghapus proyek Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi MERAUKE dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Namun, pencabutan ini tidak berarti berakhirnya ambisi lama membuka jutaan hektare lahan di selatan Papua.

Sebaliknya, pemerintah meluncurkan program baru yang justru memperluas wilayah operasi dan potensi dampaknya terhadap lingkungan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 16 Tahun 2025, yang mencabut sejumlah proyek lama sekaligus menambah deretan program baru.

Salah satunya adalah Program Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional MERAUKE, Mappi, Asmat, dan Boven Digoel di Provinsi Papua Selatan — wilayah yang sama dengan proyek lama namun dengan cakupan lebih luas.

Sebelumnya, proyek pangan dan energi MERAUKE masuk dalam Permenko Nomor 12 Tahun 2024 pada era Presiden Joko Widodo sebagai PSN nomor 112, dengan lahan pengembangan mencapai dua juta hektare untuk komoditas padi dan tebu.

Dengan penghapusan status PSN, seharusnya fasilitas kemudahan perizinan dan dukungan pembiayaan tidak lagi berlaku. Namun, melalui nomenklatur baru, arah kebijakan dan aktivitas lapangan tampak tetap berjalan.

Pemerintah Daerah Tak Dilibatkan

Gubernur Papua Selatan, Apolo Safanpo, mengaku belum mengetahui peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah pusat melalui Permenko Perekonomian Nomor 16 Tahun 2025.

“Saya belum tahu bahwa itu dicabut. Tapi kalau dicabut, itu kewenangan pusat. PSN ditetapkan pemerintah pusat. Kalau atas pertimbangan tertentu dicabut, tidak ada masalah,” ujar Apolo.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa pemerintah daerah tetap siap menjalankan program nasional yang masuk ke Papua Selatan.

“Semakin banyak program pusat masuk ke daerah, itu semakin bagus. Karena tentu akan mendorong percepatan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat,” tambahnya.

Nada serupa diungkapkan Bupati MERAUKE, Yoseph Gebze, yang menegaskan dukungan pemerintah kabupaten terhadap setiap kebijakan nasional.

“Pemkab MERAUKE tetap konsisten mendukung program nasional. Kami mengikuti hirarki pemerintahan, mulai dari pusat, provinsi hingga kabupaten,” ucapnya.

Pernyataan tersebut memperlihatkan lemahnya posisi daerah dalam proses perumusan kebijakan besar yang berdampak langsung pada wilayahnya.

Proyek Jalan Terus, Hanya Berganti Nama

Di sisi lain, pelaku usaha yang terlibat dalam proyek lama justru memastikan bahwa kegiatan mereka tetap berlanjut.

Totok Lestyo, Pimpinan Proyek PT Global Papua Abadi (GPA), menyebut bahwa pencabutan PSN tidak berpengaruh terhadap aktivitas perusahaan.

“Kami tetap lanjut. Itu hanya berubah nomenklatur. Bahkan kami sudah panen, dan sekarang lagi pembibitan baru di lahan sekitar 2.500 hektare,” kata Totok.

Ia mengklaim perusahaan telah menggarap sekitar 25.000 hektare lahan di Distrik Tanah Miring dan Jagebob, serta tengah membangun pabrik gula dengan tenaga kerja mencapai 2.500 orang.

“Semua hak ulayat masyarakat kita selesaikan dengan bagus. Tidak ada kontra dalam masyarakat,” imbuhnya.

Namun, laporan dari organisasi masyarakat sipil justru menunjukkan adanya keberatan dan protes dari sebagian masyarakat adat terkait konflik lahan dan deforestasi.

Aktivis: “Kebijakan Hanya Ganti Baju”

Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, menilai bahwa kebijakan pemerintah pusat tersebut hanyalah pergantian nama dari proyek lama.

“Substansinya tidak berubah. Ini hanya kebijakan yang berganti jubah,” ujarnya.

Menurut Franky, sejak pertemuan antara Presiden Prabowo dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada September 2025, pemerintah mempercepat revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengakomodasi proyek baru tersebut.

“Pembahasannya bahkan dilakukan di Jakarta, bukan di Papua Selatan. Tentunya tanpa keterlibatan masyarakat adat,” katanya.

Franky memperingatkan bahwa proyek baru ini justru memperluas ancaman deforestasi karena hampir seluruh wilayah Papua Selatan merupakan hutan dan tanah adat.

“Kalau proyek ini dijalankan, akan terjadi deforestasi, hilangnya biodiversitas, dan masyarakat kehilangan sumber hidup serta spiritualitasnya,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti kontradiksi antara proyek ini dan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi karbon di tingkat global.

“Bagaimana mungkin pemerintah bicara pengurangan emisi di forum internasional, tapi di sisi lain membuka jutaan hektare hutan untuk proyek pangan dan energi?” kritiknya.

Sentralisme Pembangunan Kian Kuat

Franky menilai, Proyek Strategis Nasional di Papua Selatan memperlihatkan kembalinya pola sentralisme pembangunan, bertentangan dengan semangat Otonomi Khusus (Otsus).

“Kekuasaan pusat semakin luas, sementara otoritas daerah makin sempit. Pemerintah daerah akhirnya hanya menjadi pelaksana, bukan penentu arah pembangunan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa kondisi ini berpotensi menyingkirkan inisiatif ekonomi lokal, mempersempit ruang masyarakat adat, dan memperbesar dominasi korporasi besar di Tanah Papua.

Ambisi Lama, Wajah Baru

Penghapusan proyek lama dari daftar PSN seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi model pembangunan yang abai terhadap masyarakat adat dan kelestarian hutan. Namun, dengan hadirnya program baru yang serupa, perubahan itu tampak hanya sebatas pergantian nama di atas kertas.

 

Bagi Papua Selatan, proyek pangan dan energi bukan lagi sekadar kebijakan ekonomi — melainkan cermin bagaimana pembangunan masih berjalan tanpa mendengar suara mereka yang paling terdampak: masyarakat adat di garis depan perubahan.

Sumber: