Perampasan Lahan Adat Papua Selatan: Jeritan Suku Yei dari Wilayah yang Kian Terbuka
Ketika Hutan Disebut Ibu: Suara Suku Yei Melawan Perampasan Lahan Adat-Istimewa.-
Menurutnya, masyarakat tidak membutuhkan kehadiran perusahaan karena kebutuhan dasar mereka selama ini terpenuhi dari hutan.
“Kalau hutan dibongkar, kami nanti tinggal dimana? mau makan apa kami?”
Intimidasi dan Kriminalisasi dalam Perjuangan Hak Adat
Pendamping hukum Vincent dari Solidaritas Merauke, Emanuel Gobay, menyebut Marga Kwipalo merupakan masyarakat adat yang telah mendapatkan pengakuan wilayah oleh pemerintah. Ia menilai intimidasi yang dialami Vincent sebagai bentuk tekanan agar tanah adat diserahkan.
Emanuel menyampaikan bahwa Vincent pernah diteror menggunakan parang dan anak panah oleh orang tak dikenal. Peristiwa tersebut sudah dilaporkan ke pihak kepolisian setempat. Namun setelah melakukan aksi blokade aktivitas perusahaan, Vincent justru dilaporkan balik dengan tuduhan menghalangi pengerjaan proyek PSN.
Upaya konfirmasi kepada pihak perusahaan belum mendapat jawaban.
Penanganan Laporan dan Sorotan Pelanggaran HAM
Komisioner Komnas HAM, Saurlin P. Siagian, menyatakan pihaknya telah menerima aduan mengenai intimidasi dan kriminalisasi. Ia menyebut Komnas HAM telah mengirim surat permintaan perlindungan kepada kepolisian. Komnas HAM juga sedang mengumpulkan informasi dengan menurunkan tim ke lapangan dan meminta keterangan berbagai pihak.
Saurlin menyatakan salah satu persoalan yang muncul adalah proses komunikasi yang belum tuntas dalam pengambilan keputusan proyek pembangunan.
Dari sisi lingkungan, pembukaan hutan dalam skala besar dinilai berdampak pada risiko banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Asep Komarudin dari Greenpeace mengatakan hal itu telah dirasakan di beberapa kampung yang terendam banjir setelah kawasan hutan dibuka.
Sumber: