Perampasan Lahan Adat Papua Selatan: Jeritan Suku Yei dari Wilayah yang Kian Terbuka

Perampasan Lahan Adat Papua Selatan: Jeritan Suku Yei dari Wilayah yang Kian Terbuka

Ketika Hutan Disebut Ibu: Suara Suku Yei Melawan Perampasan Lahan Adat-Istimewa.-

DISWAY.ID PAPUA SELATAN - Bagi masyarakat adat di Papua Selatan, hutan bukan sekadar lansekap hijau dan pohon-pohon tinggi yang membentang tanpa batas. Hutan adalah ruang hidup yang menyatu dengan identitas, pengetahuan, dan keberlanjutan keluarga lintas generasi. Dari hutan, mereka membangun kehidupan: mengambil bahan pangan, menemukan obat-obatan, memperoleh bahan bangunan, hingga sumber pengetahuan yang diwariskan dari para leluhur.

 

Karena itu, ketika kawasan yang mereka jaga turun-temurun mulai terbuka untuk aktivitas besar atas nama pembangunan, muncul ketakutan bahwa kehidupan yang mereka kenal akan berubah drastis. Hubungan batin yang terjalin antara manusia dan alam terancam, bukan karena pergantian zaman, tetapi karena hilangnya hak atas tanah yang mereka sebut ibu.

 

Suara itu disampaikan Vincent Kwipalo, perwakilan masyarakat adat Suku Yei, saat melaporkan dugaan perampasan lahan adat oleh PT Murni Nusantara Mandiri (MNM) ke Markas Besar Polri di Jakarta Selatan.

 

“Hutan itu. Tanah itu ibu kami. Kami bisa hidup karena tanah, karena hutan, karena segala kebutuhan kami ada di hutan itu,” ungkap Vincent.

 

Hutan sebagai Sumber Kehidupan dan Identitas

 

Bagi masyarakat adat Yei, analogi hutan sebagai ibu bukan tanpa alasan. Mereka menggantungkan kebutuhan hidup pada hutan yang menyediakan pangan, obat, bahan bangunan, serta sumber pengetahuan budaya dan spiritual. Hutan juga berperan menjaga keseimbangan lingkungan dan keanekaragaman hayati di wilayah mereka.

 

Namun kini, ruang hidup itu tengah berada dalam ancaman. Kebijakan pemerintah mengenai swasembada pangan, energi, dan air di wilayah Mappi, Boven Digoel, dan Merauke memicu pembukaan ribuan hektar hutan. Proyek kawasan sentra produksi pangan (KSPP) tersebut direncanakan seluas 2,7 juta hektar, termasuk di dalamnya cetak sawah, perkebunan tebu untuk bioetanol, peternakan, dan perkebunan sawit untuk biodiesel.

 

Selain pembukaan hutan, proyek ini juga mencakup pembangunan infrastruktur penunjang seperti jalan panjang, bandara, dan pelabuhan.

 

Laporan Dugaan Perampasan Lahan dan Dampaknya

 

Suku Yei marga Kwipalo di Kampung Kakkayo, Distrik Jagebob, mengaku telah merasakan dampaknya. Vincent mengatakan bahwa perubahan lingkungan mulai mereka lihat.

 

“Dulu, istilahnya kita masuk hutan, tinggal ambil (sesuai keperluan)… Sekarang tidak, karena hutannya sudah digusur,” katanya.

 

Ia menambahkan, perubahan bentang alam menyebabkan ikan semakin sulit didapat karena air diduga mengalami pencemaran. Sumber kehidupan yang dulu mudah diakses, kini tidak lagi sama.

 

Vincent menegaskan, perusahaan tidak bisa begitu saja mengambil lahan dengan dalih menjalankan proyek strategis nasional.

 

“Kami kesini cari keadilan saja… Keadilan dan kejuruan di negara ini.”

Sumber: