DISWAY.ID PAPUA SELATAN - Proses penataan ruang selalu menjadi fondasi penting dalam arah pembangunan suatu daerah. Di Papua Selatan, penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) memicu perbincangan serius setelah Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Selatan menyampaikan keberatan terkait mekanisme penyusunannya. Ketua MRP Papua Selatan, Damianus Katayu, M.AP, menyoroti bahwa penyusunan RTRW yang dilakukan pemerintah dinilai berjalan terlalu cepat dan kurang melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat.
Isu ini semakin mengemuka karena RTRW menyangkut keputusan jangka panjang atas ruang hidup masyarakat asli Papua, termasuk wilayah hutan adat yang memiliki nilai sakral dan kultural yang sangat penting. Di tengah dinamika pembangunan dan kebijakan pemerintah, suara komunitas adat seharusnya menjadi elemen utama yang tidak dapat dilewatkan.
Katayu menegaskan bahwa konsultasi publik semestinya memberi ruang luas bagi masyarakat adat, tokoh budaya, dan seluruh pemangku kepentingan untuk memberikan masukan. Namun menurutnya, hal itu tidak terjadi secara optimal dalam penyusunan RTRW Papua Selatan. Ia menilai bahwa proses tersebut perlu dilakukan secara berulang dan mendalam agar keputusan tata ruang mencerminkan kebutuhan dan perlindungan hak masyarakat setempat.
Dalam pandangannya, penataan ruang bukan hanya soal zonasi pembangunan, tetapi juga menyangkut keberlangsungan kehidupan masyarakat adat Papua yang selama ini menjaga hutan, tanah, dan ruang hidup mereka secara turun-temurun. Karena itu, ia menilai keterlibatan masyarakat adat dalam penyusunan RTRW harus menjadi prioritas yang tidak bisa ditawar.
MRP: Konsultasi Publik Hanya Dilakukan Sekali
Katayu menyampaikan bahwa konsultasi publik untuk RTRW Papua Selatan semestinya dilakukan tiga hingga empat kali. Namun pada pelaksanaannya, hanya satu kali konsultasi yang melibatkan MRP.
“Bagi kami, RTRW Papua Selatan yang dibahas beberapa waktu lalu terlalu cepat. Konsultasi publik seharusnya dilakukan 3 sampai 4 kali dan melibatkan semua pihak, supaya pemerintah mendapat pertimbangan, sebab yang dibicarakan di dalamnya adalah hutan adat masyarakat Papua. Kita ini berbicara hak masyarakat adat secara keseluruhan,” jelas Katayu di ruang kerjanya, Senin (17/11).
Ia menambahkan bahwa setelah konsultasi pertama, MRP tidak lagi diajak dalam proses lanjutan. Bahkan, ia baru mengetahui draft RTRW telah dikirim ke pemerintah pusat melalui informasi verbal dari DPR.
“Kami dilibatkan, tapi hanya sekali itu saja. Tiba-tiba draf sudah jadi dan dikirim ke Jakarta. Informasi itu pun saya dapat dari DPR secara lisan, bukan melalui surat resmi,” ungkapnya.
Katayu menegaskan hingga kini MRP belum menerima kejelasan mengenai apakah masukan mereka masuk dalam draft RTRW tersebut atau tidak. “Sampai sekarang kami belum tahu,” katanya.
Ia kemudian menyinggung hasil diskusi MRP bersama masyarakat Marind Imbuti, di mana warga meminta agar beberapa titik di wilayah Kali Maro tidak boleh disentuh dalam pengaturan ruang. “Itu permintaan masyarakat, dan hal seperti ini harus dipertimbangkan dalam RTRW,” tegasnya.
Pemerintah Provinsi Jelaskan Tahapan Penyusunan RTRW
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Papua Selatan menyatakan bahwa penyusunan RTRW telah mengikuti mekanisme resmi yang diatur pemerintah pusat. Kepala Bapperida Papua Selatan, Dr. Ulmi Listianingsih Wayeni, S.Sos., M.M., menjelaskan bahwa RTRW Papua Selatan merupakan bagian dari program strategis nasional (PSN) sehingga prosesnya mengikuti tahapan berlapis lintas kementerian.
Ulmi memaparkan bahwa penyusunan dimulai sejak 2023, melalui rancangan awal yang kemudian dibahas dalam diskusi lintas sektor dan disosialisasikan ke empat kabupaten di Papua Selatan.
“RTRW Papua Selatan memuat aspek sosial budaya, termasuk perhatian terhadap hak ulayat dan cagar budaya yang wajib dicantumkan,” ujar Ulmi, Jumat (14/11).