Telur Ayam Menjadi Penyumbang Inflasi Tertinggi di Papua Selatan

Telur Ayam Menjadi Penyumbang Inflasi Tertinggi di Papua Selatan

Asisten 2 Setda Papua Selatan Sunarjo-Humas PPS-RRI.co.id

PAPUASELATAN.DISWAY.ID, Merauke - Pada Desember 2024, Pemerintah Provinsi Papua Selatan mencatat bahwa telur ayam varietas baru menjadi penyumbang inflasi tertinggi di wilayahnya.

 

Saat itu, harga telur melonjak drastis hingga Rp130 ribu per rak di Merauke, sebelum akhirnya diturunkan menjadi Rp85 ribu melalui intervensi pasar oleh pemerintah daerah.

 

Hal itu diungkapkan Asisten II Setda Papua Selatan, Sunarjo, saat membuka kegiatan Peningkatan Kapasitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Penanganan Inflasi se-Provinsi Papua Selatan yang digelar di Hotel Halogen, Merauke, Selasa (10/6).

“Telur ayam ini varietas baru, dan saat Desember lalu jadi komoditas penyumbang inflasi tertinggi. Pemerintah waktu itu intervensi dengan menyubsidi biaya transportasi dari luar Papua Selatan,” ujar Sunarjo.

Sunarjo menyampaikan bahwa sejak Gubernur Apolo Safanpo menjabat sebagai penjabat gubernur, penanganan inflasi menjadi salah satu dari empat tugas utama pemerintah, bersama dengan penurunan angka stunting.

Ia menambahkan, Papua Selatan mencatat inflasi sebesar 0,4 persen pada Mei 2025 — angka tertinggi secara nasional bersama dua provinsi lainnya.

“Kalau inflasi tinggi, pedagang makmur, tapi masyarakat tidak punya daya beli,” ujarnya.

Meski masih dalam batas target nasional sebesar 1,5 persen, ia menilai Papua Selatan perlu terus mengawasi berbagai faktor penyebab inflasi, termasuk produksi pertanian yang menurun secara signifikan di beberapa wilayah, seperti Merauke.

Sunarjo juga menyoroti persoalan ketidakcocokan antara laporan luas tanam dan realisasi di lapangan. Ia menyebut data yang menyatakan 40 ribu hektare sawah tertanam di Merauke sebagai “omong kosong”, mengingat harga beras di pasar lokal saat ini mencapai Rp15 ribu per kilogram, jauh di atas harga normal.

“Kalau betul 70 ribu hektare tertanam, kenapa harga beras melonjak? Laporan musim rendeng dan gadu semuanya tidak sesuai kenyataan,” tegasnya.

Selain itu, alsintan (alat dan mesin pertanian) yang dikirim dari pusat dinilai tidak termanfaatkan secara optimal. Produksi ikan mujair, yang seharusnya bisa dimaksimalkan dari rawa-rawa di Merauke, juga belum menunjukkan kontribusi signifikan terhadap stabilisasi harga pangan.

Dalam kesempatan tersebut, Sunarjo mengingatkan pentingnya peran ASN dalam pengendalian inflasi melalui tugas dan fungsi masing-masing. Ia juga menyinggung soal ketidaksesuaian harga eceran tertinggi (HET) sejumlah komoditas seperti minyak goreng.

“Harga minyak goreng di Merauke tembus Rp18 ribu, padahal HET hanya Rp15.700. Ini bukan cuma di Papua, bahkan di Jakarta Utara dan Lampung pun begitu. Diduga ada lingkaran setan besar dalam rantai distribusinya,” ungkapnya.

Kegiatan peningkatan kapasitas ini diikuti oleh perwakilan ASN dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di empat kabupaten cakupan Provinsi Papua Selatan, yakni Merauke, Boven Digoel, Mappi, dan Asmat. Sunarjo berharap kegiatan ini dapat memperkuat pemahaman dan aksi konkret dari ASN dalam mendukung stabilitas harga dan daya beli masyarakat. [PSP]

Sumber: