Dari Rumah Pohon hingga Ritual Suci: Potret Mendalam Suku Korowai di Papua Selatan
Menyusuri Hidup Suku Korowai: Penjaga Hutan Papua dengan Tradisi Rumah Pohon-Istimewa.-
DISWAY.ID PAPUA SELATAN - Hidup di tengah belantara hutan hujan PAPUA SELATAN, Suku Korowai tumbuh dengan cara hidup yang berbeda jauh dari masyarakat modern. Gambaran tentang mereka sering memancing rasa ingin tahu, sebab komunitas ini pernah menjadi salah satu kelompok terakhir di dunia yang memiliki kontak berkelanjutan dengan dunia luar. Di wilayah Merauke, Boven Digoel, Asmat, hingga Mappi—lahan adat yang mereka kuasai selama ratusan tahun—tradisi dan alam menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Di balik hamparan pepohonan raksasa dan tanah yang lembap, masyarakat Korowai menempatkan rumah mereka jauh dari permukaan tanah. Rumah pohon yang menjulang pada ketinggian 12 hingga 35 meter bukan hanya tempat berteduh, tetapi juga simbol cara mereka memahami ruang dan keselamatan. Ketika masyarakat lain memusatkan kehidupan di daratan, Suku Korowai memilih langit sebagai pijakan.
Narasi inilah yang membuat mereka sering disebut sebagai salah satu kelompok etnis paling unik di Papua. Namun di balik keunikan itu, terdapat keterikatan kuat antara manusia, tanah, dan keyakinan yang mengikat setiap marga dalam jaringan hubungan yang kompleks. Cara hidup mereka tidak terbentuk secara kebetulan, melainkan melalui pengalaman panjang menghadapi alam yang keras sekaligus penuh berkah.
Peneliti BRIN, Hari Suroto, memaparkan bahwa bahasa Korowai berasal dari keluarga Awyu-Dumut yang membentang luas antara Sungai Eilanden hingga Digul, wilayah selatan pegunungan Tengah. “Tanah suku Korowai mencakup ratusan kilometer persegi hutan lebat di dataran rendah, antara 15 dan 50 kilometer dari rangkaian pegunungan Papua, dan sekitar 160 kilometer dari Laut Arafura,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Berorientasi pada Lahan dan Sumber Daya Alam
Suroto menjelaskan, masyarakat Korowai hidup dengan orientasi yang sangat kuat pada lahan. Sungai-sungai di wilayah mereka cenderung dangkal, penuh bebatuan, dan membuat penggunaan perahu tidak efektif. Aktivitas memancing pun dilakukan menggunakan keranjang jebakan, sementara sungai tetap menjadi sumber udang, ikan, dan kura-kura.
Sumber makanan utama mereka berasal dari darat: sagu, ubi jalar, pisang, tebu, hingga keladi. Mereka juga mengumpulkan buah liar serta minyak dari pandan merah, kelapa, dan buah sukun. Dalam aktivitas berburu, anjing memegang peran penting terutama untuk menangkap babi hutan, kasuari, hingga mamalia berkantung.
“Burung-burung juga diburu untuk dagingnya, termasuk paruh burung enggang yang digunakan sebagai penutup penis pada acara khusus,” tambah Suroto.
Sementara itu, perempuan dan anak-anak mengumpulkan hewan kecil seperti katak, serangga, dan kepiting sebagai pelengkap makanan keluarga.
Ikatan Emosional terhadap Tanah Marga
Bagi Suku Korowai, tanah bukan sekadar ruang hidup melainkan identitas. Setiap marga memiliki wilayah sekitar 2,5 kilometer persegi yang tidak dapat dipindahtangankan. Solidaritas terbentuk bukan berdasarkan garis keturunan, tetapi melalui kepemilikan lahan yang sama.
“Batas-batas wilayah geografis setiap marga mencakup wilayah-wilayah tertentu yang terkait erat dengan roh-roh leluhur,” kata Suroto. Ritual ulat sagu, yang menjadi inti aktivitas sosial, biasanya dilakukan di lokasi-lokasi suci yang menghubungkan ciri geografis dengan mitos asal-usul marga.
Pandangan terhadap Orang Luar
Pada masa sebelum kontak dan beberapa tahun setelahnya, banyak warga Korowai menganggap kehadiran dunia luar sebagai ancaman. “Istilah ‘laleo’, iblis mati yang berjalan, diterapkan bagi semua orang asing, termasuk orang Papua dari daerah lain,” terang Suroto.
Beras dianggap sebagai sagu milik iblis, dan atap logam dilihat seperti ilalang iblis. Mereka awalnya menolak berbagai barang yang dibawa pendatang, termasuk mata kail atau kapak logam. Namun perubahan terjadi secara bertahap. “Kemudian, berangsur-angsur, masyarakat Korowai menerima tawaran barang-barang modern yang akhirnya menjadi penting, seperti korek api gas, parang logam, makanan kaleng dan mi instan,” jelasnya.
Sumber: