Aksi Mahasiswa di Papua Selatan Soroti Pembakaran Mahkota Burung Cenderawasih dan Lonjakan Kriminalitas
Mahkota Cenderawasih Dibakar, Mahasiswa Papua Selatan Desak Pemerintah Lindungi Simbol Budaya-Istimewa.-
DISWAY.ID Papua Selatan - Ratusan mahasiswa, pemuda, dan masyarakat Papua Selatan menggelar aksi damai di Merauke pada Senin (3/11/2025). Aksi tersebut mengangkat isu pembakaran mahkota burung Cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, serta menyoroti meningkatnya kasus kriminalitas di wilayah tersebut.
Para peserta aksi menyebut tindakan pembakaran mahkota burung Cenderawasih bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tindakan yang melukai nilai budaya dan identitas masyarakat adat Papua Selatan.
“Tindakan BBKSDA Papua membakar mahkota Cenderawasih adalah pelanggaran terhadap hukum konservasi dan perlindungan budaya,” tegas Yoram Oagay, Ketua BEM Universitas Musamus (Unmus), saat membacakan tuntutan di hadapan massa.
Yoram menilai, tindakan tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 26 Tahun 2017, yang mengatur tata cara pengelolaan barang bukti satwa dilindungi tanpa harus merusak nilai budaya yang melekat.
Tuntutan: Lindungi Simbol Budaya dan Tegakkan Hukum Secara Adil
Dalam orasinya, para demonstran mendesak Majelis Rakyat Papua (MRP) Selatan agar segera menggelar sidang luar biasa untuk mengevaluasi tindakan BBKSDA yang dinilai tidak menghormati simbol budaya adat.
“Kami menuntut MRP Selatan segera mengadakan sidang luar biasa untuk mengevaluasi tindakan yang melukai simbol budaya adat,” ujar Yoram.
Selain itu, massa juga mendorong pemerintah daerah untuk menyusun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang berfokus pada perlindungan simbol budaya seperti mahkota Cenderawasih, agar insiden serupa tidak terulang di kemudian hari.
Mereka menilai perlindungan terhadap simbol budaya bukan hanya soal warisan adat, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap martabat masyarakat Papua yang selama ini menjaga nilai-nilai kearifan lokal.
Desakan kepada Pemerintah Daerah dan Pusat
Dalam daftar tuntutannya, massa meminta Gubernur Papua Selatan menerbitkan peraturan daerah tentang pemulihan nilai adat dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Mereka juga menuntut adanya reformasi birokrasi di tingkat daerah dan penetapan status darurat sosial-budaya sebagai langkah strategis menghadapi degradasi nilai adat di Papua Selatan.
Tak hanya itu, demonstran juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta pemerintah pusat untuk menindak pejabat BBKSDA Papua yang dianggap telah melanggar prosedur dalam pemusnahan barang bukti.
Mereka menilai, dibutuhkan mekanisme perlindungan nasional terhadap simbol budaya adat, agar tindakan serupa tidak mencederai masyarakat adat di wilayah lain.
Kritik terhadap Ketimpangan Sosial dan Lonjakan Kriminalitas
Selain menyoroti isu budaya, aksi tersebut juga menjadi wadah bagi mahasiswa dan masyarakat menyuarakan kegelisahan terhadap meningkatnya angka pengangguran, kriminalitas, dan ketimpangan sosial di Papua Selatan.
Menurut mereka, kondisi tersebut mencerminkan gagalnya pemerintah daerah dalam menjalankan amanat konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.
Para demonstran juga menekankan pentingnya transparansi data sosial dan kriminalitas di wilayah Papua Selatan. Mereka menyerukan agar pemerintah menegakkan hukum secara adil dengan tetap menjunjung kearifan lokal dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
Refleksi Demokrasi dan Kesadaran Kritis Masyarakat
Aksi demonstrasi tersebut menjadi bukti nyata meningkatnya kesadaran kritis masyarakat Papua Selatan terhadap isu lingkungan, budaya, dan sosial. Meski berlangsung dengan tensi tinggi, aksi tetap berjalan damai di bawah pengawasan aparat keamanan.
Gerakan ini sekaligus menjadi cermin bahwa masyarakat Papua Selatan, khususnya kalangan muda, semakin aktif menggunakan ruang demokrasi untuk menyuarakan perlindungan nilai budaya dan keadilan sosial di tanah mereka sendiri.
Sumber: