Pidana Kerja Sosial Papua: Kejati Papua dan Papua Selatan Sepakat Perkuat Penegakan Hukum Humanis
Jelang KUHP Baru 2026, Kejati Papua Resmikan Kerja Sama Pidana Kerja Sosial dengan Dua Provinsi-Istimewa.-
DISWAY.ID PAPUA SELATAN - Langkah pembaruan sistem hukum terus bergerak memasuki babak baru di tanah Papua. Di tengah persiapan nasional menuju penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada Januari 2026, Papua menjadi salah satu wilayah yang mulai menyusun pondasi untuk mendukung perubahan tersebut. Salah satunya dilakukan melalui penandatanganan nota kesepahaman antara Kejaksaan Tinggi Papua dan dua pemerintah provinsi, yakni Provinsi Papua serta Provinsi Papua Selatan, pada Jumat (12/12/2025) di Kota Jayapura.
Penandatanganan MoU ini menjadi titik awal penerapan pidana kerja sosial, sebuah bentuk pidana pokok yang akan berlaku dalam KUHP baru. Kerja sama ini tidak hanya menegaskan kesiapan lembaga hukum di Papua, tetapi juga menunjukkan arah baru penegakan hukum yang lebih humanis, modern, dan lebih dekat dengan kepentingan masyarakat.
Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Jefferdian, menyebut momen tersebut sebagai wujud komitmen kuat untuk menghadirkan tata kelola hukum yang relevan bagi masyarakat Papua masa kini. Ia menegaskan bahwa implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 menjadi pijakan penting menggantikan KUHP peninggalan kolonial yang sudah berlaku selama puluhan tahun.
“Langkah ini menjadi persiapan penting menjelang berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional, yang menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda, disahkan 2 Januari 2023 dan akan berlaku efektif pada 2 Januari 2026,” kata Jefferdian.
Di dalam KUHP yang baru, lanjutnya, terdapat ketentuan mengenai pidana kerja sosial sebagaimana tercantum dalam pasal 65 ayat 1. Ia menekankan bahwa sistem baru ini menjadikan pidana penjara sebagai opsi terakhir atau ultimum remedium dalam menangani tindak pidana.
Jefferdian melihat kerja sama yang terjalin sebagai bagian dari transformasi Kejaksaan menuju penegakan hukum yang lebih humanis. Melalui penerapan pidana kerja sosial, pelaku tidak hanya diberi ruang untuk memperbaiki diri, tetapi juga sekaligus memberikan dampak positif bagi publik.
“Jadi penerapan pidana kerja sosial tidak hanya memberi kesempatan pelaku untuk memperbaiki diri, tetapi juga memberikan dampak positif bagi publik. Ini merupakan langkah strategis, sinergis, dan progresif dalam pidana kerja sosial,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa seluruh pelaksanaan program nantinya akan menjadi bagian dari penilaian satuan kerja. Karena itu, ia meminta Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Negeri segera menindaklanjuti perjanjian tersebut bersama kepala daerah, baik di Provinsi Papua, Provinsi Papua Selatan, maupun kabupaten/kota di wilayah hukum Kejati Papua.
Di sisi lain, Gubernur Papua Matius D. Fakhiri memandang kerja sama tersebut sebagai langkah maju dalam menghadirkan sistem hukum yang progresif dan inklusif. Ia menginstruksikan seluruh perangkat daerah untuk memberi dukungan penuh terhadap implementasi pidana kerja sosial, termasuk menyediakan fasilitas yang aman dan relevan, serta melakukan koordinasi aktif dengan Kejaksaan Tinggi Papua.
Fakhiri juga menekankan pentingnya prinsip kemanusiaan dan keadilan dalam pelaksanaannya, agar program ini benar-benar membawa manfaat nyata bagi warga Papua.
“Saya harap Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang ditandatangani hari ini menjadi fondasi kuat bagi peningkatan kualitas penegakan hukum, serta memperluas manfaat sosial bagi masyarakat Papua, terutama dalam menghadirkan pembangunan yang harmonis, inklusif dan berkeadilan,” ungkap Gubernur.
Dengan MoU tersebut, Papua kini memiliki pijakan yang lebih kuat untuk memasuki era baru penegakan hukum. Pidana kerja sosial Papua diharapkan tidak hanya menjadi instrumen hukum, tetapi juga sarana untuk menghadirkan keadilan yang lebih manusiawi bagi masyarakat.
Sumber: