disway.id Papua Selatan -- Suara lantang menggema di Deiyai ketika ratusan massa dari Front Mahasiswa se-Indonesia dan masyarakat adat turun ke jalan pada Rabu, 9 Juli 2025.
Mereka menolak sejumlah proyek pembangunan, termasuk PLTA Urumuka di Kali Yawei, pembangunan pelabuhan di Kapiraya, proyek jalan trans, serta rencana pemekaran distrik dan kampung. Proyek untuk Siapa? Yuli Madai, koordinator aksi, dengan tegas menyatakan bahwa proyek-proyek ini bukan untuk kepentingan masyarakat, melainkan untuk memuluskan jalan bagi investor. "Ini bukan pembangunan, tapi pembiaran. Masyarakat adat hanya akan jadi penonton di tanah sendiri," tegas Yuli di hadapan perwakilan legislatif dan Forkopimda. Salah satu yang paling disorot adalah rencana PLTA Urumuka. Bagi masyarakat, proyek ini bukan sekadar tentang energi, tapi tentang ancaman terhadap kedaulatan dan kelestarian alam mereka. "Kami tidak butuh listrik jika harganya adalah kehilangan tanah leluhur," seru salah seorang peserta aksi. Pemekaran atau Pemecah Belah? Rencana pemekaran 10 distrik dan 109 kampung juga menuai kritik pedas. Yuli menilai, pemekaran hanya akan membuat masyarakat adat tergantung pada dana desa dan terjebak dalam "politik uang". "Ini jelas melanggar UU. Syarat pemekaran tidak terpenuhi, jumlah penduduk pun belum memadai," ujarnya. Yang lebih ironis, batas wilayah administrasi dan adat seperti kasus panas di Kapiraya justru diabaikan. Padahal, konflik batas wilayah sering memicu ketegangan sosial. Jalan Trans dan Pelabuhan: Pintu Masuk Eksploitasi Proyek jalan trans yang menghubungkan Deiyai-Timika dan Kokobaya-Kapiraya dinilai sebagai "jalan tol" bagi investor untuk mengeksploitasi sumber daya alam. "Pelabuhan di Kapiraya tidak masuk akal. Masyarakat adat di sana sedikit, jadi jelas ini untuk kepentingan industri, bukan rakyat," tegas Yuli. Pemekaran juga berimplikasi pada penambahan aparat keamanan. Saat ini, Deiyai memiliki lima distrik dengan lima Polsek dan Koramil. Jika pemekaran terjadi, jumlah aparat akan bertambah sebuah situasi yang dikhawatirkan akan memperkuat kontrol negara atas wilayah adat. Apa yang Diinginkan Masyarakat Deiyai? Mereka tidak menolak pembangunan, tetapi menuntut pembangunan yang berkeadilan. "Kami ingin dilibatkan, bukan dijajah di tanah sendiri," kata Yuli. Penolakan PLTA Urumuka dan proyek-proyek lainnya adalah bentuk perlawanan terhadap investasi yang mengabaikan hak-hak dasar masyarakat adat. Jika pemerintah terus bersikeras, gelombang protes ini mungkin akan semakin besar. "Kami tidak akan berhenti sampai suara kami didengar," tandas Yuli. Dan bagi Deiyai, perjuangan ini baru saja dimulai.Gelombang Penolakan PLTA Urumuka: Suara Mahasiswa dan Masyarakat Deiyai yang Terpinggirkan
Minggu 13-07-2025,21:35 WIB
Editor : Rifaa Ayuni
Kategori :