Mama Yasinta Raih S.K. Trimurti Award 2025, Lantang Bela Tanah Ulayat Papua Selatan

Mama Yasinta Raih S.K. Trimurti Award 2025, Lantang Bela Tanah Ulayat Papua Selatan

Perjuangan Tak Kenal Lelah, Yasinta Moiwend Terima S.K. Trimurti Award dari AJI--Istimewa.

DISWAY.ID, PAPUA SELATAN - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menganugerahkan S.K. Trimurti Award 2025 kepada Yasinta Moiwend, 60 tahun, perempuan asal Suku Marind-Anim, Papua Selatan. Ia dinilai memiliki keberanian dan komitmen tinggi dalam memperjuangkan hak masyarakat adat mempertahankan tanah ulayat dari ancaman perampasan, termasuk dari Proyek Strategis Nasional (PSN) lumbung pangan atau food estate di Merauke.

Penghargaan ini diumumkan pada malam resepsi ulang tahun ke-31 AJI, Jumat (8/8/2025), yang mengusung tema "Menjaga Independensi di Era Represi, Ancaman PHK, dan Swasensor". Pemilihan dilakukan oleh dewan juri yang terdiri dari Komisioner Komnas Perempuan 2025–2030 RR Sri Agustini, Ketua Umum Perempuan Mahardhika Mutiara Ika Pratiwi, dan Ketua Satgas Anti Kekerasan Seksual AJI Indonesia Yuafriza.

Setelah meneliti rekam jejak dan dampak gerakannya, dewan juri menilai Mama Yasinta—sapaan akrabnya—layak menerima penghargaan karena konsistensinya membela keadilan di tengah tekanan proyek pembangunan yang merusak lingkungan. Ia tak hanya aktif di aksi lapangan, tetapi juga melakukan advokasi ke kantor pemerintahan, forum publik, hingga melaporkan ke Badan PBB Bidang HAM (OHCHR), Komnas Perempuan, dan Komnas HAM.

Dalam video dokumenter "Dilema Food Estate", Mama Yasinta menggambarkan bagaimana proyek yang diklaim pemerintah sebagai solusi ketahanan pangan justru menghancurkan ekosistem, merampas tanah adat, dan memiskinkan masyarakat lokal, terutama perempuan. Ia mengaku berulang kali menerima ancaman maupun iming-iming hadiah agar menghentikan perjuangannya.

Latar belakang dan profil Mama Yasinta sangat kuat sebagai pejuang akar rumput dengan segala risiko keamanan dan ancaman di tengah demokrasi yang menyempit dan kriminalisasi perempuan pembela HAM,” ujar Mutiara Ika.

Ika menambahkan, statusnya sebagai perempuan, masyarakat adat, dan warga di daerah yang rawan serta terpinggirkan membuat perjuangannya semakin berat. “Di Merauke, di mana tanah adat diperlakukan sebagai ‘tanah kosong’ untuk ekspansi ekonomi, Mama Yasinta menjadi suara yang kuat melawan ‘krisis tiga dimensi’: ekosida, etnosida, dan genosida,” ujarnya.

Ia juga menilai proyek food estate di Merauke berpotensi memicu bencana ekologis, seperti deforestasi masif, pengeringan lahan, dan gangguan sistem sungai yang berdampak pada hilangnya kebun sagu, lahan berburu, serta tanaman obat. Dampak jangka panjangnya adalah ketidakamanan pangan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerusakan lingkungan besar-besaran.

Komisioner Komnas Perempuan, Sri Agustini, menyebut Mama Yasinta berkontribusi penting dalam menyuarakan dampak eksploitasi lingkungan dari akar rumput sekaligus mendorong perubahan hingga ke tingkat internasional. “Pertimbangan kami juga pada keberlanjutan gerakan perubahan yang dilakukannya,” katanya.

 

Sementara Yuafriza menilai penghargaan ini adalah bentuk pengakuan atas keberanian dan integritas Mama Yasinta. “Ia menjadi simbol harapan, ketahanan, dan kearifan lokal yang mampu menginspirasi kita semua untuk berani membela apa yang kita yakini benar,” ujarnya.

Sumber: