DISWAY.ID PAPUA SELATAN - Ketegangan mewarnai Distrik Ngguti, Kabupaten Merauke, setelah muncul laporan bahwa PT Jhonlin Group menerobos palang hak ulayat yang dipasang masyarakat di Kampung Nakias dan Salamepe, Sabtu (22/11). Peristiwa tersebut dengan cepat menyita perhatian publik, apalagi video aksi penerobosan itu telah beredar luas dan menuai reaksi keras dari para pejabat Papua Selatan.
Di wilayah yang masih memegang erat adat dan hak kepemilikan tanah turun-temurun, pemalangan merupakan bentuk peringatan dari masyarakat bahwa ada persoalan yang belum terselesaikan. Karena itu, dugaan penerobosan palang hak ulayat langsung memunculkan kekhawatiran baru. Proyek jalan sepanjang lebih dari 136 kilometer yang menghubungkan Wanam–Muting—bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk mendukung program ketahanan pangan di Papua Selatan—menjadi titik sentral kisruh ini. Penebangan pohon diketahui telah mencapai area Distrik Ngguti.
Situasi tersebut langsung ditanggapi oleh sejumlah pejabat dari berbagai lembaga daerah. Mereka berkumpul untuk menyampaikan sikap sekaligus memberi peringatan agar persoalan ini segera ditangani pemerintah dan pihak perusahaan.
Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Selatan Katharina Maria Yaas dan Frederika Debat, Ketua Fraksi Afirmasi DPRD Merauke Milka Balagaize, Wakil Ketua III DPRD Merauke Dominikus Chambu, anggota DPRD Merauke Mathias, serta anggota DPRD Papua Selatan Victoria Gebze, seluruhnya menyatakan keberatan.
“Ketika masyarakat menanam palang hak ulayat di sana, perusahaan Jhonlin Group menerobos palang,” kata mereka kepada wartawan di Merauke, Minggu (23/11).
Maria Yaas menilai peristiwa ini bukan kejadian tunggal, melainkan bagian dari persoalan yang lebih besar terkait minimnya koordinasi sejak awal. Ia menyebut selama dua tahun pelaksanaan PSN di Merauke, tidak pernah ada komunikasi yang jelas antara pemerintah dan masyarakat adat.
Menurutnya, aspirasi masyarakat sudah berkali-kali disampaikan melalui MRP maupun lembaga lainnya, tetapi tetap diabaikan.
Ia menegaskan bahwa penerobosan palang semakin menambah luka masyarakat yang masih trauma dengan peristiwa masa lalu.
“Penerobosan palang masyarakat menunjukkan mereka tidak menganggap keberadaan masyarakat Papua. Pembukaan hutan untuk jalan terus dilakukan, padahal gubernur dan bupati sudah berulang kali turun ke Ngguti. Kalau masih ada pemalangan, artinya persoalan belum selesai. Masyarakat trauma karena ada luka masa lalu dari PT Dongin Prabhawa,” tegasnya.
Sikap tegas juga datang dari Wakil Ketua III DPRD Merauke, Dominikus Chambu. Ia menyebut persoalan ini merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dan harus segera diselesaikan.
“Kami minta gubernur dan bupati memanggil Jhonlin Group untuk menyelesaikan persoalan ini. Ketika masyarakat memalang, tolong dihargai. Itu tanah mereka,” ujarnya.
Dominikus meminta agar aktivitas perusahaan dihentikan sementara sampai ada kejelasan.
“Kami mohon jangan buat masyarakat kami menangis,” tambahnya.
Ketua Fraksi Afirmasi DPRD Merauke, Milka Balagaize, turut mendesak pemerintah daerah mengembalikan hak-hak masyarakat adat sebelum situasi semakin memanas.
Ia menegaskan, “Kegiatan Jhonlin Group tolong dihentikan sementara. Jangan rampas hak kami. Dan tolong pejabat yang berhubungan dengan proyek itu tolong, jangan terlalu rampas kami punya hak.”
Sementara itu, anggota DPRD Papua Selatan Victoria Gebze menyatakan telah mempelajari video yang beredar. Dari pengamatannya, terdapat indikasi kuat adanya penyerobotan wilayah adat.
“Ini persoalan serius. Jangan sampai ada korban jiwa. Perusahaan harus menghargai wilayah adat, dan pemerintah wajib mengatasi persoalan ini dengan cepat,” pungkasnya.
Kisruh ini menjadi pengingat bahwa proyek pembangunan berskala besar hanya dapat berjalan baik bila masyarakat adat sebagai pemilik tanah dilibatkan sejak awal. Penyelesaian segera menjadi keharusan agar ketegangan tidak berkembang menjadi konflik berkepanjangan.